Sabtu, 30 Januari 2010

Yaopo ?

disalin dari MartinManurung.com

"Pak, apa nggak salah? Bukan 'mantan presiden' ya?" kata teman saya yang membantu memesan bunga dukacita untuk Gus Dur. Ketika itu, saya memberi pesan agar menuliskan nama lengkap Gus Dur sebagai berikut: "Presiden K.H. Abdurrahman Wahid". Saya jawab, "Tidak, tuliskan seperti yang saya minta, tanpa kata 'mantan'." Teman saya meminta penjelasan, "Kok begitu, Pak?"


Titel, atau gelar, Presiden adalah sebutan yang melekat bagi setiap orang yang pernah menyandangnya. Sebutan itu melekat seumur hidupnya, bahkan setelah ia meninggal dunia, walaupun tidak lagi menjabat sebagai presiden yang berkuasa. Hal itu berlaku secara universal sebagai bentuk penghargaan terhadap figur tersebut.

Di negara lain pun demikian. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, Bill Clinton tetap disebut "President Clinton". Bahkan, Presiden Barack Obama tetap menyebut Abraham Lincoln presiden ke-16 (1861-1865) AS yang sebagai "President Lincoln". Penyebutan "mantan" tidak diperlukan karena orang pasti tahu bahwa Lincoln bukanlah presiden yang sedang berkuasa (the ruling president), dan setiap orang tahu bahwa presiden AS saat ini adalah Barack Obama.

Itu adalah salah kaprah yang pertama.

Salah kaprah berikutnya adalah penyebutan "Mantan Presiden RI ke-4" terhadap Gus Dur. Selain kesalahan pada tata cara penomoran (hal ini kita bahas berikutnya), penyebutan kata 'mantan' pada contoh di atas juga keliru. Ketika sudah ditambahkan Presiden ke-4, menyebut tambahan kata 'mantan' adalah pengulangan yang tidak diperlukan (redundant). Presiden ke-4 sudah pasti tidak lagi berkuasa, sebab yang sedang berkuasa adalah Presiden ke-6 (Yudhoyono). Dengan demikian, cukup ditulis "Presiden ke-4 RI".

Bila ingin menekankan "ke-mantan-an" Presiden Wahid, bisa ditambahkan periode kekuasaannya sehingga menjadi Presiden ke-4 RI (1999-2001). Akan tetapi, ini pun tak diperlukan sebab hampir semua orang yang membacanya masih mengingat dan/atau mengalami masa kepresidenan Gus Dur. Penyebutan periode mungkin akan relevan pada 50 atau 100 tahun lagi, ketika orang mungkin perlu disegarkan hapalannya atas periode-periode Presiden RI.

Terkahir, tata cara penomoran juga banyak yang salah kaprah. Padahal, saya ingat bahwa hal itu sudah dikoreksi berkali-kali sejak zaman program "Bahasa Indonesia" ditayangkan di TVRI waktu saya masih di Sekolah Dasar.

Penyebutan Presiden RI ke-4 adalah SALAH BESAR (saya sengaja memakai huruf kapital). Sebab hal itu berarti bahwa Gus Dur adalah Presiden dari sebuah negara yang bernama RI ke-4. Nah, lantas siapakah Presiden dari negara bernama RI ke-1, RI ke-2, RI ke-3, RI ke-4, dst?

Penyebutan yang benar adalah Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Dengan demikian, maknanya jelas: Gus Dur adalah presiden ke-4 dari sebuah negara bernama RI. Presiden ke-1 adalah Soekarno, ke-2 Soeharto, ke-3 BJ. Habibie, dst.

Saya tak tahu sampai kapan kesalahan ini akan terus terjadi. Sebab, yang menyedihkan kesalahan-kesalahan seperti di atas, khususnya yang terakhir, terjadi pada iklan-iklan dari lembaga-lembaga negara dan badan-badan usaha milik negara. Bahkan kesalahan "Presiden RI ke-4" itu pun diucapkan pada pembacaaan resmi riwayat hidup ketika pemakaman kenegaraan terhadap Gus Dur!

Kekurangtepatan berbahasa itu harus segera kita koreksi. Sebab, siapa lagi yang akan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar selain kita, bangsa Indonesia sendiri?
You might also like:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana dengan hati kita ?

sejak 22 03 2010