Sabtu, 30 Januari 2010

Century Bank

disalin dari MartinManurung.com

Sejak awal skandal dana talangan Bank Century diwarnai diskursus yang rancu. Sebagian segera menentukan nama-nama tertentu menjadi target dengan harapan yang bersangkutan diganti sehigga mereka dapat menjadi kandidat menteri. Sebagian lain, yang tak kalah rancu, segera mengambil posisi pembela bak pendekar buta dengan mengatakan bahwa apapun yang berkaitan dengan dua tokoh kunci kasus Century, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mantan Gubernur BI Boediono, pasti benar.

Setelah Panitia Angket DPR dibentuk, penyelidikan skandal dana talangan Bank Century pun tak kunjung memperoleh titik terang yang berarti. Hal itu karena diskursus kasus Bank Century terjebak pada tema yang juga rancu, yaitu kesahihan penilaian “dampak sistemik” oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terhadap bank tersebut. Padahal, tak ada yang dapat mengukur secara pasti sebuah “dampak sistemik”. Sebab, hingga kini tak tersedia parameter yang pasti dalam menentukan apakah permasalahan suatu bank berdampak atau tidak berdampak sistemik pada keuangan, apalagi perekonomian.

Karena itu, perlu dicari titik awal di mana benang kusut kasus itu harus diurai. Hal itu krusial untuk memilah-milah di mana dapat diselidiki terjadinya berbagai macam pelanggaran, dari yang sifatnya prosedural sampai ke tindak pidana perbankan dan korupsi. Mari kita urai satu-per-satu, tanpa distorsi yang membawa kerancuan.


“Dampak Sistemik”

Istilah apik “dampak sistemik” sepenuhnya berada di luar wilayah ilmu ekonomi. Bila disimak, istilah itu pada hakikatnya mengacu pada kemungkinan munculnya kepanikan para pelaku ekonomi, terutama di sektor keuangan.

Kepanikan, tentu saja, sulit diukur dengan pasti. Kita memang pernah mengalami kepanikan finansial tatkala pemerintah, atas rekomendasi IMF, menutup 16 bank sekaligus pada 1 November 1997. Bersamaan dengan merosotnya integritas pemerintah saat itu, kebijakan tersebut segera meruntuhkan kepercayaan masyarakat atas institusi dan sistem perbankan.

Pertanyaannya, jika penutupan 16 bank menimbulkan kepanikan, apakah bila hal yang sama terjadi pada satu bank kecil seperti Century juga akan menghasilkan akibat yang sama? Tak ada yang bisa menjawabnya, baik para ekonom pendukung maupun penentang kebijakan dana talangan pada Bank Century. Bahkan, mungkin saja penilaian kepanikan finansial yang berdampak “sistemik” itu seharusnya dijawab oleh psikolog, bukan ekonom.

Berbagai riset, diantaranya oleh ekonom pemenang Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz, kemudian menunjukkan bahwa penyebab utama “dampak sistemik” 1997 itu adalah proses pengambilan keputusan yang tidak transparan sehingga memunculkan rumor tentang sistem perbankan (misalnya, ketidakjelasan jumlah sebenarnya bank yang bermasalah dan pemerintah akan melakukan penutupan bank tahap kedua, dst). Ketertutupan informasi itu memicu efek berantai yang berujung pada hilangnya kepercayaan pada Presiden Soeharto, pemangku kekuasaan politik kala itu. Kini, ketika pejabat-pejabat negara silih berganti memberikan keterangan yang berbelit-belit dan cenderung mengelak dari tanggung jawab atas skandal dana talangan Bank Century, tidakkah membuat kita seakan-akan mengalami Deja Vu?

Langkah Awal

Dengan demikian, keterbukaan informasi adalah kunci penyelesaian skandal tersebut dengan segera tanpa harus berujung pada hilangnya kepercayaan politik. Hal ini bukan politisasi, sebab hukum informasi yang asimetri menyebutkan demikian: semakin timpang penguasaan informasi, semakin besar pula kekuasaan (power) yang dimiliki oleh pemilik informasi memanfaatkannya demi kepentingan sendiri. Karena itu, secara alamiah, tanpa ada politisasi dan penunggangan, muncul kecurigaan penyalahgunaan wewenang atas aliran dana talangan Bank Century yang konon melibatkan pihak-pihak yang dekat dengan penguasa .

Pada saat ini, perdebatan perihal “dampak sistemik” tak lagi relevan dan akan membawa pada kerancuan. Sebab, segala analisis bersifat pembenaran yang post-factum. Untuk keluar dari kerancuan itu, institusi-institusi negara hendaknya melakukan langkah melebihi justifikasi “dampak sistemik”.

Langkah itu adalah mengungkap seluas-luasnya apa yang terjadi, siapa yang bertanggung jawab secara administratif dan politik atas tiap level pengambilan keputusan, serta siapa saja yang menikmati gelontoran dana publik itu. Sebagai awal, paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab.

Tiga Pertanyaan

Pertama, mengapa terjadi penarikan dana pihak ketiga setelah dana talangan dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)? Dari kronologi kasus diketahui bahwa sekitar Rp. 3,2 triliun dialokasikan ke pencairan dana nasabah. Tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prosedur penyelamatan bank. Sebab, penyelamatan bank diperbolehkan hanya untuk satu dari dua tindakan ini: penambahan modal, atau pembayaran dana nasabah bila bank ditutup. Tindakan yang tidak dapat dibenarkan pada kasus Bank Century adalah pemerintah melalui LPS melakukan penambahan modal, sekaligus pembayaran dana nasabah (penarikan dana pihak ketiga) kendati bank tidak ditutup. Hal ini dapat dikategorikan sebagai fraud.

Kedua, mengapa penambahan dana talangan (top up) tetap dilakukan, kendati telah diketahui adanya fraud? Penambahan dana ini menyebabkan biaya membengkak mencapai Rp. 6,7 triliun. Menurut prosedur, penambahan dana talangan hanya dapat diberikan dengan alasan kerugian bisnis, bukan fraud.

Ketiga, siapakah tokoh berpengaruh yang memerintahkan manajemen bank untuk melakukan tindakan-tindakan di atas? Pertanyaan ini bertambah penting untuk dijawab karena tindakan tersebut terjadi setelah kepemilikan dan pengelolaan bank diambil alih pemerintah melalui penyertaan modal sementara (PMS). Penyelidikan KPK telah menemukan indikasi tokoh berpengaruh tersebut via penyadapan telepon. Hal itu tentu dapat menjadi awal untuk menelusuri lebih lanjut tokoh misterius ini.

Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat menjadi awal untuk mengurai kasus Bank Century tanpa kerancuan. Pelanggaran prosedural dan bahkan dugaan tindak pidana perbankan telah terlihat jelas. Kemudian, bila dikuti arus uangnya, indikasi memperkaya diri (korupsi) dari dana talangan negara pun potensial ditemukan. Tak ketinggalan pula penelusuran siapa tokoh berpengaruh tersebut, sehingga kasus itu dapat dituntaskan secara hukum dan politik.

Inilah ujian atas konsistensi negara dalam pemberantasan korupsi, terutama via kejahatan perbankan yang karena kompleksitasnya sering menemui jalan buntu di banyak negara, bahkan di negara maju sekalipun. Mari kita buktikan bahwa Indonesia bisa!
You might also like:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana dengan hati kita ?

sejak 22 03 2010